Terinspirasi dari kuliah saya hari ini, saya menuliskan kisah berikut.
Pada perayaan ulang tahun pernikahan sepasang suami isteri yang ke-50, anak-anak mereka menyusun acara jalan berdua di sebuah taman bagi sepasang golden-soulmate ini. Sepasang suami isteri ini akhirnya berjalan dengan penuh kemesraan di sebuah taman hijau yang sangat luas nan indah. Tangan mereka bergandengan.
Berjalan beberapa menit, terdengar suara yang tak tahu datangnya dari mana, "Miau...Miau..."
"Sayang, kau dengar itu?" tanya sang isteri kepada suaminya sambil merapatkan badannya.
"Oh, ya, tentu saja. Kenapa?"
"Kau seperti tidak tahu saja, aku kan takut dengan anjing..." kata istrinya dengan setengah nada kecewa.
"Loh, tapi itu kan kucing, sayang?"
"Bukan... Itu anjing," bantah si istri. Lalu mereka melanjutkan berjalan dengan keadaan si isteri merapat ke suami, beraga-jaga kalau anjing itu kembali.
"Miau... Miau... Miau..." suara misterius itu makin terdengar jelas.
"Tuh, kan, betul. Itu anjing. Dengar saja suaranya," sahut si isteri.
Si suami menoleh kepada isterinya," Anjing bagaimana? Jelas-jelas dari suaranya, itu suara kucing. Dia mengeong, sayang."
"Bukaaan. Itu suara kucing. Pokoknya itu suara kucing," si isteri menjelaskan, nadanya agak meninggi.
Si suami mulai mengernyitkan dahi, meragukan kebenaran perkataan si isteri. Bahasa nonverbalnya ini ditangkap oleh si isteri. Ya, walaupun ia tidak berkata-kata, tetapi jelas si isteri menangkap si suami tidak mengakui bahwa ia berkata benar. Lalu mereka melanjutkan berjalan lagi. Keduanya berada pada mode tidak senang hati.
"Miau...Miau...Miau..." saura tersebut makin jelas terdengar.
"Coba deh denger baik-baik, Yang barusan itu suara kucing, istriku... Kucing, K-U-C-I-N-G, sayaaaaang."
Kali ini si isteri mulai jengkel. "Bukan! Pokoknya itu bukan kucing! Itu anjing!" katanya sembari melepas gandengan tangannya walaupun ia takut dengan anjing.
"Tapi jelas-jelas, anjing itu menggonggong. Lah, yang barusan itu suara kucing yang mengeong," si suami tak kalah jengkelnya.
"Miau...Miau...Miau..."
Kali ini si isteri makin ketakutan mendengar suara itu. Berhubung ia masih jengkel, ia peluk dirinya erat-erat. Ditatapnya balik suaminya yang memandanginya dengan mata yang seolah-olah bertanya: masih mau bilang itu suara kucing?
"Pokoknya itu suara anjing. Itu-suara-anjing," kata si isteri sambil menekankan satu per satu kata dari kalimat terakhir.
"Kucing," si suami capek berkata-kata.
"Anjing!" kata isteri.
"Kucing!"
"Pokoknya anjing!"
"Kucing!!!"
Keduanya berdebat anjing dan kucing sampai sama-sama jengkel. Akhirnya si isteri buang muka dan tidak menjawab lagi. Mereka berjalan penuh keheningan dan kejengkelan dalam hati, di hari ulang tahun pernikahan mereka. Sesekali si suami menoleh ke arah isterinya, tapi si isteri selalu mengalihkan pandangan. Suara miau-miau itu masih terdengar sesekali. Tak selang beberapa menit, terdengar isakan tangis dan sesunggukan sang isteri. Si suami yang sejak tadi tidak bisa memperhatikan wajah isterinya baru menyadari kalau si isteri menangis.
"Maaf ya. Itu memang suara anjing. Maafkan aku, isteriku," kata si suami sambil merangkul isterinya yang tampak sekali ketakutan.
Si isteri masih sesunggukan, tapi perlahan-lahan agak memudar.
"Maafkan aku juga yang cepat sekali marah," kata si isteri.
Akhirnya mereka berjalan dengan kebahagiaan. Mereke berjalan makin mesra. Yang terpenting bukanlah persoalan apakah itu anjing atau kucing. Yang terpenting adalah mereka bisa menjalani hari itu dengan baik. Minta maaf itu bukan tentang siapa yang benar atau siapa yang salah, tetapi tentang siapa yang lebih menghargai kualitas suatu hubungan. Barangkali suara itu adalah suara anjing yang dimutasikan dengan kucing, atau kucing yang bermutasi dengan anjing.